Raden Ajeng Kartini Ternyata Pernah Ngaji Kepada KH. Sholeh Darat

Iklan Semua Halaman

Raden Ajeng Kartini Ternyata Pernah Ngaji Kepada KH. Sholeh Darat

22/04/2022


 jurnalbesuki.com - Sosok Raden Ajeng (RA) Kartini merupakan figur yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan tanggal kelahirannya diperingati sebagai agenda Nasional. Setiap tanggal 21 April dalam setiap, Bangsa Indonesia mengenangnya sebagai Hari Kartini.


Ketokohannya sedemikian luar biasa bagi perkembangan Nilai Sumber Daya Manusia terutama untuk kalangan perempuan. Ketika dijaman Kartini, perempuan belum diberikan kesempatan untuk berkreasi apalagi menyamakan haknya dengan kaum lelaki. Berkat perjuangan RA Kartini, perempuan akhirnya bisa mengenyam pendidikan setara dengan para kaum adam.


Dilansir oleh Kantor berita Detik.com, tulisan M. Rizal Maslan cukup memberikan kita pengetahuan baru tentang putri dari Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat itu. 


Dalam tulisannya, Rizal mengemukakan bagaimana ketika Kartini sangat terinspirasi oleh pendidikan dan arahan Kyai Sholeh Darat ketika nyantri kepada Beliau. 


Berikut tulisan lengkap M. Rizal Maslan yang berjudul :

Saat Kartini Terinspirasi Dakwah Kiai Sholeh Darat : "Kartini tertarik dengan tafsir Kiai Sholeh Darat, tertarik dengan pemikirannya yang dianggap berlian dan maju."


Suatu pagi pada 1901, rombongan keluarga Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat mengunjungi Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Sosroningrat membawa beberapa anaknya. Salah satunya adalah Raden Ajeng Kartini. Bupati Demak, yang tak lain adalah adik Sosroningrat atau paman RA Kartini, mengundang mereka untuk mengikuti sebuah pengajian di serambi pendapa kabupaten.


Bukan hanya keluarga Sosroningrat, pengajian itu juga dihadiri oleh sejumlah priayi setempat dan undangan terhormat lainnya. Saat itu diundang penceramah kiai atau ulama asal Semarang, yaitu KH Muhammad Sholeh bin Umar atau yang dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat. Materi pengajian tentang tafsir Al-Qur’an surah Al-Fatihah.


Kartini serius mendengarkan ceramah sang kiai yang juga merupakan guru pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy’ari dan KH Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) itu. Kartini terkejut dan terpana ketika menyimak Kiai Sholeh Darat menerjemahkan dan menafsirkan penghulu surat Al-Qur’an itu dengan bahasa Jawa.


Dengan sepenuh hati, Kartini mengikuti pengajian tersebut. Sesekali ia menyeka air mata yang bergulir di pipinya. Seusai pengajian, Kartini menghadap Kiai Sholeh Darat. Sebagian hadirin yang masih tinggal di pendapa, termasuk ayah Kartini, terheran-heran dengan keberanian Kartini berdialog dengan Kiai Sholeh Darat.


Jadi, yang saya pahami, sosok RA Kartini itu sebagai orang yang alim dalam hal agama. Istilahnya, sudah kelasnya ustazah, kiai wanita. Itu yang saya baca dari beberapa literatur yang ada.”

“Rama Kiai, maafkanlah keberanian saya ini, karena merasa perlu menghaturkan terima kasih yang tanpa tara bandingan besarnya atas keberanian Rama Kiai menerjemahkan surah Al-Fatihah dalam pengajian awam di sini tadi. Keberanian saya katakan penerjemahan Rama Kiai tadi, karena para kiai lain tidak ada yang berani berbuat demikian. Sebab, kata mereka, Al-Qur’an dilarang diterjemahkan dalam bahasa Jawa bagi orang awam,” kata Kartini mengawali dialognya dengan Kiai Sholeh Darat.


Kartini melanjutkan perkataannya bahwa Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disiarkan ke seluruh dunia agar dianut semua manusia di seluruh muka bumi. Karena itu, semua manusia perlu mengerti dan dibuat mudah dalam memahami kandungan Al-Qur’an dengan menerjemahkannya ke pelbagai bahasa.


“Dan lagi manusia Jawa, sebagian antara lain diri saya ini dalam soal tersebut Rama Kiai telah merintis jalannya. Justru dimulai pagi tadi Rama Kiai. Titik permulaan pergantian gelapnya malam dengan terangnya siang hari,” ucap Kartini.


Kartini melanjutkan, pengertian tentang asrar isi kitab suci itu yang disampaikan dalam bahasa Jawa membuat dirinya paham akan Al-Qur'an. Sebelumnya, ia tidak paham dengan makna surah Al-Fatihah. Dan bukan cuma dirinya, kebanyakan orang Jawa pada masa itu juga belum paham tentang isi dan ajaran Al-Qur'an.


“Bagi diri saya sendiri, Rama Kiai, surah Al-Fatihah selama ini gelap, serbagelap bagi saya. Namun kini, sejak pagi tadi, telah menjadi serbaterang benderang segala-galanya hingga makna asrar segala, demi penerjemahan Rama Kiai dalam bahasa ibu saya, bahasa Jawa, dan sampai rasa haru hati saya kadang kala membuat basah pipi saya dengan air mata selama mengikuti pengajian,” imbuh Kartini lagi.


Tentunya, dialog Kartini dengan Kiai Sholeh Darat itu aslinya berlangsung dengan bahasa Jawa. Dialog itu diterjemahkan oleh Prof Musa Mahfudz, guru besar Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat penelitian pada 1978, Musa Mahfudz juga sempat mewawancarai salah satu murid Kiai Sholeh Darat yang masih hidup bernama KH Ma’shum Demak. Kiai Ma’shum itulah yang hadir mendampingi gurunya menyampaikan pengajian di pendapa Kabupaten Demak.


“Jadi Ma’shum itu saksi yang ikut pengajian di pendapa Kabupaten Demak yang dihadiri RA Kartini. Kemudian terjadi dialog. Dialog itu sebenarnya sifatnya ilustrasi atau penggambaran antara RA Kartini dan Kiai Sholeh Darat," kata pembina Komunitas Pecinta Kiai Sholeh Darat (Kopisoda) Kota Semarang, Agus Tiyanto.


Agus, yang juga kerabat keturunan Kiai Sholeh Darat, mengatakan keterkaitan Kartini dengan Kiai Sholeh Darat cukup dekat. Kartini pernah nyantri kepada Kiai Sholeh Darat. Data tentang hal itu ditemukan dalam penelitian yang dilakukan Musa Mahfudz berdasarkan catatan pribadi KH Ma’shum Demak yang telah dimuat di majalah Gema Yogyakarta Nomor 3 tahun 1978. Sebelumnya, penelitian pernah dilakukan oleh HM Ali Cholil (cucu Kiai Sholeh Darat), kemudian dilanjutkan oleh Abdullah Salim dan Muchoyyar dari IAIN Sunan Kalijogo.


“Kalau merekam hasil penelitian Pak Mahfudz memang hanya sekali (Kartini) ikut pengajian di pendapa Kabupaten Demak itu. Tapi, kalau penelitian Pak Aguk Irawan dan Amirul Ulum, itu bisa jadi ada dalam pertemuan lainnya. Bisa jadi keluarga Kartini sowan ke Semarang. Tentunya tidak hanya sekali, ya namanya ngaji, nggak cukup sekali, tapi beberapa kali,” ungkap Agus, yang juga dikenal dengan sapaan Ki Muhammad Suryonegoro Klaten.


Sejak berkenalan dengan Kiai Sholeh Darat, Kartini seperti mendapatkan pencerahan. Ia akhirnya memahami bahwa agama Islam itu sangat indah dan Islam mudah dipelajari.  “Jadi yang saya pahami, sosok RA Kartini itu sebagai orang yang alim dalam hal agama. Istilahnya sudah kelasnya ustazah, kiai wanita. Itu yang saya baca dari beberapa literatur yang ada,” jelas Agus.


Yang menarik, lanjut Agus, dari hasil penelitian Aguk Irawan dari Yogyakarta, ternyata sosok pertama yang lebih dahulu kenal dengan Kiai Sholeh Darat adalah Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak RA Kartini. Pemikiran Kartini tentang ‘kantong bolong’ atau ajaran-ajaran moralnya yang sufistik terinspirasi dari ajaran Kiai Sholeh Darat.


“Yang memperkenalkan keluarga Kartini, seperti ayahnya, kepada Kiai Sholeh Darat, ya, kakaknya, Kartono. Kenapa Adipati Demak dan Jepara kenal Kiai Sholeh, ya, melalui penghubung Kartono. Jadi sosok Kartono lebih duluan ngaji dengan Kiai Sholeh. Sehingga kemudian difasilitasi, Kiai Sholeh diundang pengajian di Demak,” ujar Agus.


Sebenarnya, jelas Agus, Kartini sudah bisa baca huruf pegon (Arab Jawa). Hal itu karena memang sejak kecil Kartini dididik agama oleh ibunya, Mas Ajeng Ngasirah. Ngasirah merupakan putri Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. “Kartini itu dari awal sudah ada didikan mengaji, sudah trah kiai atau ulama. Kalau dari jalur ayahnya memang secara geneologi ayahnya masih trah keraton, sehingga Kartini sejak kecil sudah diajar menulis pegon,” imbuh Agus.


Dalam buku RA Kartini Seratus Tahun (1879-1979) tulisan Solichin Salam (1979), Kartini memang dididik agama sejak kecil oleh guru agama yang dipanggil secara privat. Sayangnya, guru agama lokal saat itu masih terbilang kolot. Mengajarkan membaca Al-Qur'an tanpa mengetahui artinya dan tidak dapat menjawab semua pertanyaan yang diajukan Kartini kepadanya.


“Yang paling tidak disukai adalah pelajaran membaca Al-Qur’an, dan jika itu dilaporkannya, membuat ibunya marah. Sebab, ibunya keras dalam soal agama. Soalnya, gurunya juga tak menyukai pelajaran itu, karena anak-anak suka mengajukan pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya,” ujar Kartini dalam biografinya.


Akhirnya Kartini saat itu tak mau lagi mengaji karena gurunya tak bisa menerangkan pertanyaan-pertanyaannya. Keluh kesah Kartini ini, terutama malas mempelajari Al-Qur'an, juga dituangkan di dalam surat kepada temannya Nona Zeehandelar, EC Abendanon, Nyonya Ovink Soer, dan Stella. Sejatinya apa yang dialami Kartini saat itu juga banyak dialami masyarakat umum lainnya.


Sepekan sebelum Kartini menikah dengan Bupati Rembang KRM Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat pada 12 November 1903, KH Sholeh Darat mengutus muridnya, KH Ma’shum, untuk menyerahkan hadiah berupa kitab Faidlur Rahman fi Bayani Asrarir Qur’an kepada Kartini. Kitab tersebut awalnya ditulis Kiai Sholeh Darat pada Kamis, 5 Rajab 1309 H atau 4 Februari 1892. Kemudian kitab itu dicetak oleh penerbitan Al Ahmadi di Singapura pada 1312 H/1894 M.


“Jadi kitab itu bukan pesanan Kartini, tapi memang Kartini tertarik dengan tafsir Kiai Sholeh Darat, tertarik dengan pemikirannya yang dianggap brilian dan maju. Makanya Kiai Sholeh menghadiahinya. Makanya saya kurang setuju kalau dikatakan kitab itu hanya memenuhi pesanan Kartini,” pungkas Agus.


Sumber: detik.com/hans