Kisah Imam Ahmad Bin Hambal Menghadapi Godaan Setan Saat Sakaratul Maut

Iklan Semua Halaman

Kisah Imam Ahmad Bin Hambal Menghadapi Godaan Setan Saat Sakaratul Maut

16/12/2022

jurnalbesuki.com - Kematian pada setiap manusia merupakan kepastian yang tidak bisa ditawar. Siapapun orangnya, kematian akan menjadi akhir kehidupan yang dilaluinya. Dan sebagai orang Islam, kematian dengan cara dan jalan yang baik menjadi harapan agar kehidupan selanjutnya yang harus dilalui menjadi lancar dan selamat.

Banyak keterangan yang menyebutkan bahwa ketika seseorang sampai pada ujung kehidupan dan mengalami sakaratul mau, godaan dari setan dan sejenisnya datang mempengaruhi agar keimanan orang itu menjadi tidak berfungsi bahkan tersesat.

Cerita tentang imam Ahmad Bin Hambal, seorang tokoh ulama yang keilmuan dan tingkah lakunya sangat tidak diragukan ternyata masih menghadapi ujian sangat berat diproses sakaratul mautnya. 

Mari kita simak cerita yang dilansir oleh nu.or.id berikut:


Masyhur di kalangan ulama ahli nasihat, sebuah riwayat tentang sepak terjang dan bujuk rayu setan ketika ada seorang hamba yang menghadapi sakaratul maut. Setan berdiri di sebelah kiri dan kanannya dengan tujuan untuk merusak akidah dan keimanan si hamba dan mengajaknya bersama-sama dalam siksa neraka.  Setan yang ada di sebelah kanan tampil dalam wujud ayah dari orang tengah sakaratul maut tadi. Sedangkan setan yang di sebelah kiri tampil dalam wujud ibunya.

Layaknya seorang ayah kepada anak yang sangat dicintainya, setan di sebelah kanan berkata, “Wahai anakku, dari dulu ayah sangat sayang kepadamu, ayah sangat cinta kepadamu. Namun ayah meninggal dalam keadaan memeluk Nasrani. Sebab, Nasrani adalah agama terbaik.” Setan di sebelah kiri yang tampil dalam wujud ibunya juga berkata serupa, “Wahai anakku, perut ibu dulu sebagai tempatmu, air susu ibu sebagai minumanmu, dan kedua paha ibu sebagai pijakanmu. Namun ibu meninggal dalam keadaan memeluk  Yahudi. Sebab, Yahudi adalah agama terbaik.” 

Riwayat ini disebutkan oleh Abu al-Hasan al-Qasi al-Maki. Riwayat semakna juga disebutkan oleh al-Ghazali dalam Kasyfu ‘Ulumil Akhirah. 

Maka dari itu, Umar bin al-Khathab senantiasa berpesan, “Ajarilah orang-orang yang menghadapi kematian di antara kalian dengan kalimat Lailahaillah. Sebab, mereka melihat sesuatu yang tidak kalian lihat.” 

Di sisi lain, sakaratul maut merupakan akhir pertarungan antara iblis dengan manusia yang berupaya mengakhiri hayatnya dengan kalimat tauhid, sebagai puncak pencapaian atas apa yang dikabarkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya.

مَنْ كَانَ آخرُ كَلَامه لَاإلَهَ إلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Artinya, “Siapa saja yang di akhir perkataannya adalah kalimat Lailahaillah, maka ia berhak masuk surga.” 

Karena itu, sebagai upaya menghindarkan tipu daya setan yang senantiasa ingin mencelakakan orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, maka sebaiknya kita membimbingnya dengan kalimat tahid: La ilaha illallah.    

Namun adakalanya, kalimat “La ilaha illallah” yang kita tuntun kepada orang yang sakaratul maut mendapat penolakan darinya sehingga sebaiknya kita tidak berburuk sangka terlebih dahulu. Sebab, penolakan itu boleh jadi bersamaan dengan upaya dirinya menjauhkan tipu daya setan yang ada di hadapannya.  

Kejadian hadirnya setan di hadapan orang yang sakaratul maut pernah dialami langsung oleh Imam Ahmad bin Hanbal, seperti yang dikisahkan oleh putranya Abdullah bin Ahmad. Jelang Sang Imam wafat, Abdullah bin Ahmad berada di sampingnya seraya bersiap memegang kain untuk mengikat kedua rahangnya. 

Sang Imam tampak berkeringat. Disangka sudah mengembuskan nafas terakhir, ia kemudian kembali tersadar dan berucap, “Tidak, menjauhlah! Tidak, menjauhlah!” Ia mengatakan itu hingga berkali-kali.  

Oleh Abdullah bin Ahmad, Sang Imam ditanya, “Wahai ayah, apa yang engkau inginkan dari perkataan itu?” 

Sambil terbata-bata, ia bercerita, “Tadi setan berdiri di sampingku sambil menggigit jari-jarinya. Ia berkata, ‘Wahai Ahmad, aku kehilanganmu (tak sanggup menyesatkanmu).’ Aku menjawab, ‘Tidak, menjauhlah! Tidak menjauhlah!’”  

Demikian pula ketika Imam Abu Ja‘far wafar, orang-orang yang menghadirinya berkata, “Ucapkanlah: ‘La ilaha illallah!’” Namun, Sang Imam malah menjawab, “Tidak! Tidak!” 

Tatkala tersadar, mereka bercerita dan Sang Imam menjelaskan, “Tadi aku kedatangan setan di sebelah kanan dan kiriku. Salah satunya berkata, ‘Meninggallah engkau dalam keadaan memeluk Yahudi, sebab ia adalah agama terbaik.’ Yang lainnya juga berkata, ‘Meninggallah dalam keadaan memeluk Nasrani, sebab ia adalah agama terbaik.’ Maka dari itu, tadi aku mengatakan, ‘Tidak! Tidak!’”  

Ketika Allah menghendaki akhir seorang hamba dalam keadaan baik, maka Dia akan menurunkan rahmat melalui malaikat Jibril. Dengan turunnya malaikat Jibril, wajah si hamba akan diusap dan segala yang meliputinya akan hilang. Di saat yang sama, dua setan yang berusaha menggodanya akan terusir. Menurut  Imam  Al-Ghazali, salah satu upaya mengundang turunnya malaikat Jibril di hadapan orang yang sedang sakaratul maut adalah mewudhukan orang tersebut. (Lihat: Syekh Abdul Wahab asy-Sya‘rani, Syarh Mukhtashar Tadzkirah al-Qurthubi,  halaman 12). 

Dari penjelasan dan petikan kisah di atas, dapat ditarik beberapa pelajaran berharga: 

1. Sakaratul maut merupakan pertarungan berat antara seorang hamba dengan setan yang menggodanya. Bahkan, selamat dan tidaknya seorang hamba di akhirat dapat dicirikan dari kemampuannya menghadapi godaan tersebut.      

2. Orang yang sedang menghadapi sakaratul maut, hendaknya didampingi dan dituntun mengucapkan kalimah “La ilaha illallah.” 

3. Manakala ada penolakan dari orang sakaratul maut yang dituntun mengucap kalimat “La ilaha illallah” hendaknya kita berbaik sangka. Sebab, boleh jadi ia telah berhasil menyingkirkan godaan setan, seperti yang dihadapi Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Ja‘far.    

4. Salah satu upaya mengundang rahmat Allah bagi orang yang sedang menghadapi sakaratul maut adalah mewudhukan orang tersebut. Sebab, sesuai dengan pendapat al-Ghazali, malaikat Jibril senantiasa hadir di hadapan orang sakartul maut yang memiliki wudhu. Wallahu a’lam. 

Ustadz M Tatam Wijaya, alumnus PP Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim “Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.