Surabaya (jurnalbesuki.com) - Pakar Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengungkapkan bahaya suara sound horeg beresiko tinggi terhadap kesehatan jantung. Suara ekstreem yang ditimbulkan sound horeg dapat memicu henti jantung.
Dr. mety Ardiana menjelaskan bahwa suara yang keluar secara ekstreem bisa menimbulkan respon fisiologis yang berpotensi mengganggu fungsi kardiovaskuler seseorang terutama yang memang punya riwayat penyakit jantung.
"Jika pada orang sehat, dampak da resiko itu relatif kecil. Namun jika orang itu sudah memiliki gangguan pada jantung maka paparan suara keras dapat menjadi pencetus terjadinya aritmia atau henti jantung,' ujar Mety kemarin di surabaya.
Menurut Dr Mety, tingkat kebisingan disuatu lingkungan kerja atau hiburan merupakan salah satu faktor resiko penyakit jantung. Tetapi kadang faktor itu malah sering terabaikan.
Padahal kebisingan diatas 85 desibel jika terjadi secara terus menerus akan sangat berpengaruh pada pembuluh darah, memicu timbullnya stres fisiologis dan meningkatkan resiko penyakit jantung koroner.
Dibidang Kardiologi, pencegahan merupakan langkah utama untuk menghindari resiko penyakit jantung. Bahkan dilingkungan kerja perkotaan, tingkat kebisingan yang tinggi sudah dianggap sebagai salah satu faktor resiko penyakit jantung.
“Jika di tempat kerja saja kebisingan harus dikendalikan demi kesehatan, apalagi sound horeg yang dijadikan sebagai hiburan. Saya rasa itu bukan sesuatu yang menyehatkan, justru merugikan,” Terang Dokter Mety menjelaskan.
.Oleh katena itu Dokter Ahli ini mendorong adanya regulasi khusus untuk melindungi kelompok rentan, seperti lansia dan penderita penyakit jantung, dari paparan suara ekstrem di ruang publik.
Temuan ini sejalan dengan prinsip manajemen risiko lingkungan kerja yang menempatkan kebisingan sebagai salah satu bahaya utama. Standar keselamatan kerja internasional merekomendasikan langkah preventif seperti audit kebisingan rutin, pemasangan peredam suara, dan penggunaan alat pelindung diri (earplug atau earmuff).
Ia menambahkan, pelajaran dari dunia kerja ini dapat diadopsi dalam pengelolaan kegiatan publik.
“Kalau di tempat kerja saja ada batasan kebisingan dan kewajiban memakai pelindung telinga, maka di kegiatan hiburan pun seharusnya ada pembatasan agar aman bagi kesehatan,” jelasnya.(kompas/hans)