Menikmati Makanan Khas "Pecel Pincuk” Garahan Jember

Iklan Semua Halaman

Menikmati Makanan Khas "Pecel Pincuk” Garahan Jember

18/03/2022


 Jember (jurnalbesuki.com)  – Gerimis masih turun ketika kendaraan saya memasuki wilayah Desa Garahan Kecamatan Silo Jember. Sejak berangkat, saya memang sudah berniat untuk mengisi perut dengan “Nasi Pecel Pincuk”. Makanan khas garahan yang bisa ditemui di pinggiran jalan raya. Jika mau ke Banyuwangi lewat jalur selatan, maka pemandangan itu akan dilihat sebelum masuk pegunungan Gumitir.

 Setelah memilih tempat, sayapun berhenti dan turun dari kendaraan. Eni Pujiwati, penjual pecel itupun langsung meramu pesanan yang saya minta. saya tersenyum melihat cara penyajiannya. Nasi pecel itu tidak ditempatkan di piring, tetapi ditaruh diatas daun pisang yang di lipat dan ditusuk dengan sepotong lidi. Orang mengenalnya dengan istilah memincuk. Tempat nasi itulah yang kemudian membuat nasi pecel khas garahan dikanal dengan nama Nasi Pecel Pincuk.

 Eni Pujiwati, penjual nasi tempat saya makan mengaku tidak tahu, saat ditanya sejak kapan tradisi itu mulai dilakukan. Tetapi Eni memastikan, penjualan itu dilakukan hanya di Stasiun KA Garahan. “Dulu penjualan dilakukan hanya di Stasiun. Tapi sekarang sepi dan tidak nutut. Kamipun mendirikan tenda sederhana di pinggiran jalan raya. Lumayan hasilnya,”ujarnya menceritakan.

Menurut Eni, penjualan nasi pincuk itumasih bisa ditemukan di Stasiun KA Garahan. Karena tidak semuanya meinggalkan lokasi dan berjualan di pinggir jalan. Sehingga para penumpang KA juga masih bisa menikmati nasi khas produk Garahan itu jika ke Banyuwangi. “Rata-rata penjual di sini (sepanjang jalan – red) juga menjual nasi sama di Stasiun sana ,”terang Eni yang mengaku sudah 3 tahun berjualan di pinggiran jalan.

Sayapun menoleh ke kanan kiri. Ternyata jumlah penjual yang mendirikan tenda sederhana itu tidak sedikit. Dalam hitungan saya, terdapat antara 25 sampai 30 penjual yang berjejer rapi di pinggir jalan antara Jember – Banyunwangi. Penjual nampaknya membidik pengendara kendaraan pribadi atau rombongan. Sebab penumpang bus umum tidak mungkin berhenti hanya untuk menikmati dan makan nasi pecel.

Karenanya, hampir seluruh penjual di sana juga menjual pernik lain yang diperkirakan menjadi kebutuhan pembeli. “Kami juga menjual Kopi, Susu, the, krupuk, air mineral dan rokok. Biasanya pembeli selain makan juga memesan yang lain,”timpal Bu A’an, pemilik tenda Pecel Pincuk di sebelah Eni.

Penjualan pecel pincuk daun pisang ini juga naik setelah berada di tenda pinggir jalan. Jika di stasiun, penjual yang menjajakan nasi di jendela KA, paling banyak hanya bisa menjual 30 pincuk. Meski dalam sehari mereka bisa berjualan empat kali seiring KA kelas ekonomi lewat. Yang berhenti di stasiun tersebut memang hanya KA kelas Ekonomi, dua kali di pagi hari dan dua kali di sore harinya.

 Sejak berjualan di tenda, setiap harinya para penjual bisa menjual 50 pincu'. "Kalau ramai bisa lebih dari 50 pincu', belum lagi pernak-pernik lainnya kayak kopi tadi," lanjut Bu Aan. Dalam sehari mereka bisa memasak 5 kilogram beras. Dan mereka bisa membawa pulang keuntungan kotor Rp 200.000 dengan modal antara Rp 100.000 - Rp 120.000.

Saat ini para penjual pecel itu juga harus menanggung kenaikan harga  beras di pasaran. Para penjual ini rata-rata memakai beras medium seharga  Rp 5.000 perkilogram. Karena tidak ingin rugi, mereka menaikkan harga pecel pincu' mereka. "Jika dulu di kereta hanya Rp 1.000 sekarang  semuanya sepakat menaikkan harga menjadi Rp 1.500 per pincuk," tutur Eni.

Selain makan di tempat sambil melihat pemandangan sekitar yang cukup menyenangkan. Pembeli juga dipersilahkan pesan untuk dibawa pulang. Enipun tidak canggung untuk menyatakan rugi kalau melintas di jalan itu, tapi tidak menyempatkan diri untuk makan nasi produk garahan. "Apalagi nanti kalau pas musim duren dan petai, pembeli juga bisa menikmati duren atau membawa pulang petai," promo Eni. (Ahmad Hasan Halim)