Gedung Mahkamah Konstitusi(foto.kompas) |
jurnalbesuki.com - Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah pihak karena penerapan sistem proporsional terbuka, mendapatkan perhatian serius dari banyak kalangan. Bahkan beberapa pihak mulai mendaftarkan diri sebagai pihak terkait.
Permohonan uji materiil yang diajukan oleh enam orang pemohon masing-masing adalah Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI). Demas diketahui merupakan kader PDI Perjuangan.
Pemohon mengharapkan agar sistem pemilu yang menerapkan sistem proporsional terbuka sebagaimana termaktub dalam pasal 168 beleid itu agar bisa menjadi sistem proporsional tertutup. Namun, uji materi yang bertujuan untuk mengubah sistem pemilihan dari coblos nama caleg menjadi coblos lambang partai di kertas suara itu, justru ditentang delapan partai politik di parlemen, kecuali PDI Perjuangan.
Para pihak yang menjadi penentang atau sebagai pendukung sistem proporsional terbuka kemudian mengajukan diri sebagai pihak terkait. Beberapa diantaranya adalah Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim, dan Sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Wibi Andrino, yang mengajukan permohonan pada Kamis (5/1/2023).
Disusul kemudian oleh Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Derek Loupatty, kader dari Jawa Barat Achmad Taufan, serta kader dari Papua Martinus Anthon Werimon menempuh langkah yang sama. Ketiganya merasa dirugikan jika pemilu berlangsung dengan sistem proporsional tertutup. Sebab, kontestasi perebutan kursi Parlemen hanya bakal didominasi oleh kader yang dipilih oleh parpol, bukan yang dikenal oleh masyarakat.
Belakangan, setelah menggelar Rakernas yang turut dihadiri Presiden Joko Widodo pada 11 Januari lalu, Partai Bulan Bintang (PBB) turut mengajukan diri sebagai pihak terkait. Namun, berbeda dengan Golkar dan Nasdem, PBB senada dengan PDI-P yang mendukung sistem proporsional terbuka diubah menjadi sistem proporsional tertutup.
Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra beralasan, sistem proporsional tertutup perlu didukung lantaran sistem yang berlaku saat ini kerap membuat masyarakat melakukan kesalahan saat proses pencoblosan. Selain itu, mantan Menteri Hukum dan HAM itu menambahkan, sistem proporsional terbuka juga telah merusak sistem rekrutmen parpol. Menurut dia, parpol cenderung mencari kader yang mempunyai logistik dan popularitas. “(Sehingga) demokrasi rakyat berubah jadi demokrasi uang. Tentu kita tidak ingin hal itu terjadi,” ucap pria yang juga mantan Mensesneg itu saat ditemui di Gedung MK, Gambir, Jakarta, Jumat (13/1/2023).
Kemunduran Demokrasi
Sebagai pihak yang mendukung sistem proporsional tertutup, PDI Perjuangan berpandangan bahwa sistem proporsional terbuka telah menciptakan kapitalisasi politik, oligarki, dan persaingan politik yang terlalu bebas. Di sisi lain, Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto mengklaim, sistem proporsional tertutup membuat proses kaderisasi dapat berjalan optimal.
“Selanjutnya juga memberikan insentif terhadap kinerja di DPR, dan pada saat bersamaan karena ini adalah pemilu serentak antara pileg dan pilpres, maka berbagai bentuk kecurangan itu bisa di tekan,” tutur Hasto dalam konferensi pers virtual Refleksi Akhir Tahun secara daring, Jumat (30/12/2022).
Namun, penilaian tersebut dibantah delapan parpol parlemen. Mereka menilai, mengembalikan sistem pemilu saat ini ke sistem proporsional tertutup yang telah berlaku pada Pemilu 1955, pemilu Orde Baru serta Pemilu 1999, adalah sebuah kemunduran demokrasi.
“Di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik, kami tidak ingin demokrasi mundur!” ucap Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto saat menyampaikan sikap penolakan bersama tujuh parpol lainnya di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan, Minggu (8/1/2023).
Adapun delapan parpol penolak sistem proporsional tertutup yaitu Golkar, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menilai sistem proporsional tertutup membuat masyarakat tak mengerti siapa figur yang dipilihnya.
Situasi itu, tutur AHY, sama dengan merampas hak demokrasi masyarakat.
"Jika terjadi sistem pemilu tertutup, maka rakyat tidak bisa memilih secara langsung wakil-wakil rakyatnya. Padahal kita ingin semua menggunakan haknya dan tidak seperti membeli kucing dalam karung," ungkap AHY.(kompas/hans)