Jakarta (jurnalbesuki.com) - Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care Anis Hidayah mendukung langkah pemerintah melakukan penghentian sementara pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) atau tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia.
"Saya kira langkah pemerintah penting dan kita mendukung untuk moratorium sementara ya," kata Anis, Jumat (15/7/2022).
Menurut Anis, keputusan Pemerintah untuk menghentikan sementara pengiriman TKI ke Malaysia adalah bentuk penundaan penerapan nota kesepahaman terkait penempatan dan perlindungan pekerja migran Indonesia yang disepakati pada April lalu. "Sebenarnya Malaysia tidak patuh kepada MoU tersebut," ujar Anis.
Selain itu, Anis menilai Pemerintah juga harus memperketat pengawasan terhadap aksi sindikat penyalur tenaga kerja migran ilegal yang ada di Indonesia dan Malaysia, yang juga melibatkan petugas imigrasi. "Di Indonesia juga banyak oknum yang terlibat antara lain Imigrasi ya. Saya pikir Imigrasi merupakan salah satu kontrol akhir pemberangkatan pekerja migran kita proper atau tidak," ujar Anis.
Menurut Anis, diduga banyak terjadi penyalahgunaan kewenangan di Imigrasi sehingga banyak pekerja migran Indonesia yang berangkat ke Malaysia tidak memenuhi ketentuan (unprocedural). "Terutama yang melalui bandara, pelabuhan gitu ya, tentu yang ada petugas keimigrasian di sana," ucap Anis.
Secara terpisah, Duta Besar RI untuk Malaysia Hermono mengungkapkan, perjanjian yang dilanggar oleh Negeri Jiran itu yakni mekanisme perekrutan PMI. Malaysia, kata dia, masih menggunakan perekrutan melalui System Maid Online (SMO). "MoU itu tidak dilaksanakan semua, tapi justru Malaysia menggunakan skema sendiri yang sangat merugikan PMI dan menimbulkan masalah," kata Hermono, Kamis (14/7/2022).
Hermono mengatakan, perekrutan melalui SMO membuat buruh migran asal Indonesia rentan dieksploitasi.
Sebab, lewat sistem besutan Kementerian Dalam Negeri Malaysia (Kemendagri) Malaysia itu, pemerintah tidak mengetahui nama majikan dan jumlah upah yang diberikan.
Adapun dalam MoU, kedua negara sepakat menggunakan Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) sebagai satu-satunya sistem yang legal dalam merektur PMI di sektor domestik alias pembantu rumah tangga (PRT).
Apalagi, tujuan dilakukannya penandatanganan kesepakatan yang tertuang dalam MoU tanggal 1 April 2022 itu untuk mencegah atau mengurangi masalah-masalah yang dihadapi oleh PMI.
"Banyak sekali bedanya (antara SPSK dengan SMO). Dengan sistem yang mereka gunakan, kita enggak tahu apa-apa soal pekerja rumah tangga kita," kata dia.
Hal senada juga disampaikan Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) Judha Nugraha mengatakan, penghentian sementara itu dilakukan lantaran Malaysia terbukti melanggar perjanjian yang telah disepakati kedua Menteri Ketenagakerjaan pada 1 April.
Hal ini membuat PMI rentan tereksploitasi karena tidak melalui sistem perekrutan resmi. Padahal, perjanjian dibuat berdasarkan itikad baik dari kedua negara. "Ini membuat posisi PMI rentan tereksploitasi karena mekanisme perekrutan ini. Pekerja migran yang berangkat ke Malaysia akhirnya tidak melalui tahap-tahap persiapan yang benar," ucap Judha dalam media briefing di Jakarta, Kamis (14/7/2022).
Judha menjelaskan, sistem perekrutan resmi yang disepakati dalam pasal 3 perjanjian (MoU) adalah melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK). Ini adalah satu-satunya sistem perekrutan yang legal karena mengatur besaran upah hingga jaminan sosial kesehatan.
Sedangkan setelah perjanjian ditandatangani, Malaysia masih menggunakan System Maid Online (SMO) yang membuat pemerintah RI tidak mengetahui nama majikan dan jumlah upah yang diberikan pemberi kerja. Tentu saja kata Judha, sistem ini merugikan para pekerja migran.
"Menyikapi hal tersebut telah diadakan rapat-rapat K/L di pusat untuk membahas situasi ini termasuk dengan Kemenaker selalu regulator. Dan diputuskan untuk menghentikan sementara waktu penempatan PMI ke Malaysia," tutur Judha.
Terkait hal itu, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, SMO merupakan sistem perekrutan PMI sektor domestik atau pembantu rumah tangga (PRT) yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal kedua negara. Penggunaan SMO membuat Pemerintah RI tidak mengetahui nama majikan dan besaran gaji yang diterima PRT.
Maka dari itu, menurut Pemerintah, aplikasi milik Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Malaysia ini membuat posisi PMI menjadi rentan tereksploitasi. "KBRI di Kuala Lumpur merekomendasikan kepada Pemerintah Pusat untuk menghentikan sementara waktu penempatan PMI di Malaysia, hingga terdapat klarifikasi dari Pemerintah Malaysia, termasuk komitmen untuk menutup mekanisme SMO sebagai jalur penempatan PMI,” kata Ida dalam keterangan tertulis, Jumat (15/7/2022).
Ida menjelaskan, berdasarkan kesepakatan yang ditandai dengan penandatanganan kerja sama (MoU) pada tanggal 1 April, perekrutan PMI sektor domestik hanya dilakukan melalui sistem satu kanal (one channel system). Kanal tersebut menjadi satu-satunya mekanisme resmi untuk merekrut dan menempatkan PMI sektor domestik di Malaysia. Dengan kanal itu, Pemerintah RI dapat meninjau besaran gaji hingga jaminan sosial kesehatan PMI yang telah disepakati.
Dengan demikian, sistem SMO mem-by pass UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan PMI karena perekrutan/penempatan PMI tidak melalui tahap pemberangkatan yang benar. “Hal ini tentu tidak sesuai dengan kesepakatan dan komitmen kedua negara, karena penempatan seharusnya menggunakan one channel system. Kesepakatan dalam MoU tersebut tentunya didasarkan atas iktikad baik oleh kedua negara," jelas Ida. (kompas.com/hans)