Jember (jurnalbesuki.com) - Sudah puluhan tahun warga Jember dan sekitarnya mengenal makam Turbah, yang dikenal sebagai kompleks pemakaman Bani Shiddiq. Namun, tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya penghuni pemakaman itu, sehingga banyak orang luar kota beramai-ramai menziarahi, terutama pada Hari Kamis malam Jumat?
Jika kita pergi ke Jember lewat di Jl Gajah Mada XII, kawasan dobleway, tepatnya di Lingkungan Condro, Kecamatan Kaliwates, akan melihat sebuah bangunan makam sederhana. Di dalamnya terdapat belasan makam tokoh ulama, plus sebuah musallah kecil yang hanya mampu menampung belasan orang saja.
Beberapa waktu lalu, musalla tersebut memang telah merehabilitasi. Selain usia bangunannya sudah sangat tua, pihak panitia juga menganggap perlu ada pemugaran, renovasi maupun penambahan fasilitas yang diperlukan.
Apalagi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, banyak warga luar daerah yang berkunjung ke Jember untuk berwisata. Di antara tujuannya adalah kompleks pemakaman Turbah, yang dianggap memiliki nilai sejarah dan “kekeramatan” yang tak kalah pentingnya dengan pemakaman ulama lain di Jawa Timur.
Di pemakaman seluas 200 meter persegi itu memang terdapat makam khusus Bani Shiddiq, ulama terkemuka, sekaligus peyebar dakwah Islam di Jember. Selain itu juga ada pemakaman Bani Mursyid, juga ulama berpengaruh di Jember.
Hampir setiap malam Jumat tak kurang antara empat sampai lima bus berisi 200 orang rombongan peziarah datang dan berdoa di pemakaman tersebut. Namun sebagian besar di antara mereka belum tahu banyak siapa sebenarnya Kyai Shiddiq dan silsilah keluarganya.
Malah sebagian dari mereka lebih mengenal puteranya, KH Achmad Shiddiq, karena jabatannya sebagai mantan Rais ‘Aam PBNU, di awal kepemimpinan Ketua Umum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Serta KH Mahfud Shiddiq, Ketua PBNU di zaman penjajahan Jepang, serta KH Hamid Wijaya, pendiri GP Anshor.
Meski termasuk ulama sangat berpengaruh, namun namanya masih kalah tenar dengan kemenakannya, KH Hamid Pasuruan, yang dikenal sebagai salah seorang waliyulloh. Artinya, selama ini pada umumnya umat Islam, khususnya warga nahdliyin lebih mengenal Syaichona Cholil Bangkalan, Madura, Hadratus Syeh KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, KH Hamid Pasuruan, dan beberapa ulama kenamaan lainnya di Jatim.
Padahal, jika ditelusuri jejak perjuangannya, Kyai Shiddiq mungkin juga tak kalah pentingnya dengan ulama-ulama terkemuka itu. Malah dalam bukunya Kyai Shidiq, Pesona Relegi Jember, Gus Afton Ilman Huda, salah seorang cicitnya, Mbah Shiddiq disebut sebagai salah satu santri kesayangan Syaichona Cholil Bangkalan, Madura. Bahkan, Hadratus Syeh KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng, Jombang, sempat berguru pada almarhum.
Kyai Haji Muhammad Shiddiq dan lebih dikenal dengan nama Kyai Shiddiq atau Mbah Shiddiq adalah lahir tahun 1854, di Padukuhan Punjulsari, Kecamatan Lasem, kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Almarhum adalah seorang muballigh/da'i yang awal berjasa menyebarkan islam di Kabupaten Jember. Berkat kegigihan beliau, dan dilanjutkan oleh para kader-kader muballigh/da'i-nya sehingga Jember kemudian menjadi daerah islami.
Terbukti sekarang banyak kiai/ulama yang meneruskan pejuangan Mbah Shiddiq. Tak kurang 3000 masjid, lebih dari 750 pesantren dan sedikitnya berdiri 1000 lembaga pendidikan Islam lainnya di Jember. Dia adalah putra KH Abdullah, yang wafat dan dimakamkan di Laut Merah saat beribadah hajji. Dari silsilahnya. Mbah Shiddiq akhirnya diketahui ada keturunan dari Sayyid Ali Zainal Abidin (Madinah) bin Sayyidina Husein ra binti Sayyidah Fatimah Az-Zahro ra (istri Sayyidina Ali ra) binti Rosululloh Muhammad SAW.
Di masa kecilnya, Mbah Shiddiq sempat mengaji pada beberapa ulama yang terkenal. Antara lain KH Abdul Azis - Lasem Rembang, KH Sholeh - Langitan Tuban, KH Sholeh - Darat Semarang, KH Cholil – Bangkalan, KH Ya’cub- Panji Sidoarjo dan KH Abdurrochim – Sepanjang Sidoarjo.
Setelah pengembaraan mencari ilmunya, Mbah Shiddiq mendirikan pesantren sebagai pengabdian ilmunya di masyarakat. Mula-mula di Lasem, kemudian sekitar tahun 1870-an, hijrah ke Jember dan mendirikan pesantren di Kampung Talangsari, Jember, yang kini dikenal sebagai Pesantren Ash-Shiddiqi Putra (PPI ASHTRA), di Jalan KH Shiddiq 201 Jember. Melalui pesantren inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berkembangnya Isam di Jember, dengan strategi pengaderan santri dan mendirikan masjid-masjid. Sedikitnya sekitar 15 masjid yang tersebar di berbagai wilayah Jember, termasuk Masjid Jamik Al-Baitul Amin di jantung kota Jember, sebagai salah satu monument sejarah perjuangan almarhum.
Mbah Shiddiq meninggal di Jember pada Hari Ahad Pahing jam 17.45, tanggal 2 Romadlon 1353 H./9 Desember 1934 Masehi, dalam usia 80 tahun. Selnjutnya jasad almarhum dimakamkan di Turbah, Jl Gajahmada, Lingkungan Condro, Jember tersebut. (Ahmad Hasan Halim)