jurnalbesuki.com - Suatu hari di bulan November 1999, wartawan yang bertugas di Istana Kepresidenan Amerika Serikat (AS) Gedung Putih (White House), dibuat kesal karena menunggu seorang tamu negara.
Para jurnalis kesal lantaran tamu yang akan menemui Presiden AS saat itu, Bill Clinton, sudah terlambat sekitar satu jam.
Tetapi, protokol di Gedung Putih masih tetap menantikan tamu yang tidak lain adalah Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Gus Dur berserta rombongan bertolak ke AS pada 10 November 1999 dan diagendakan bertemu Presiden Bill Clinton pada 12 November 1999.
Bersama Gus Dur, ikut pula sejumlah wartawan Istana Kepresidenan RI. Salah satunya wartawan Harian Kompas, Joseph Osdar.
Osdar menceritakan, ketika menunggu kehadiran Gus Dur, wartawan di White House kesal karena keterlambatan yang sudah satu jam.
Sebab, beberapa hari sebelum Gus Dur berkunjung, ada Presiden Perancis saat itu, Jacques Chirac yang juga terlambat saat akan bertemu Clinton. Hanya saja, keterlambatan Presiden Chirac terhitung selama lima menit.
"Wartawan White House pada marah-marah. Ini siapa (yang ditunggu)? Kemarin Presiden Perancis terlambat 5 menit sudah enggak boleh. Ini ditunggu," kata Osdar saat berbincang dengan Kompas.com di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Jumat (22/7/2022).
"Jadi ketika Presiden Clinton sudah menunggu, Gus Dur masih di hotel (Hotel Water Gate, Washington, tempat rombongan Indonesia menginap)," lanjutnya.
Setelah menunggu, pertemuan kedua kepala negara itu akhirnya terlaksana juga di Ruang Oval di White House.
Osdar mengungkapkan, saat pertemuan wartawan dari Indonesia boleh ikut masuk ke Ruang Oval dan menyaksikan dari dekat.
Ketika itu, Bill Clinton tampak tidak marah meski sudah dibuat menunggu. Kedua kepala negara itu juga tampak berbincang dengan akrab.
Tawa wartawan Gedung Putih
Usai pertemuan, Bill Clinton dan Gus Dur menggelar konferensi pers bersama. Para wartawan dari Indonesia dan wartawan Gedung Putih sudah siap mengajukan pertanyaan.
Joseph Osdar menuturkan, selama konferensi pers saat itu, justru Gus Dur yang lebih banyak berbicara dan mencairkan suasana.
"Sebab wartawan Gedung Putih kan juga berasal dari berbagai negara. Gus Dur menyapa dengan bahasa Inggris, Perancis, Spanyol. Juga melontarkan candaan," kata Osdar.
"Wartawan yang tadinya marah-marah, jadi tertawa, jadi ceria," lanjutnya.
Dia mengungkapkan, salah satu pertanyaan yang dilontarkan wartawan adalah soal toleransi beragama di Indonesia.
Osdar menuturkan, Gus Dur menjelaskan jika kondisi toleransi beragama di Indonesia berjalan baik.
Saat itu, Gus Dur juga menyebutkan akan berupaya membantu perdamaian di Timur Tengah, khususnya dalam konteks konflik Israel-Palestina.
Selain berbicara dengan bahasa Inggris, Perancis dan Spanyol, Gus Dur juga berbicara dengan bahasa Belanda.
Melihat keluwesan pria kelahiran Jombang tersebut, para wartawan Gedung Putih semakin antusias bertanya.
Pertanyaan soal konflik keagamaan dijawab Gus Dur dengan santai.
Osdar menuturkan, Gus Dur mengibaratkan kondisi ketika umat beragama sedang berkonflik itu selayaknya pertandingan sepakbola yang harus dicari celah untuk tetap bekerja sama dan sportif.
"Beliau menekankan harus sportif, harus dicari jalan tengahnya, yakni kerja sama. Para wartawan asing bertepuk tangan," kata Osdar.
"Selama konferensi pers pun Bill Clinton tampak senang, sebab Gus Dur yang mengerti berbagai bidang bisa mencairkan suasana. Beliau pun lebih banyak menyimak," tuturnya.
Dianggap lambang demokrasi Menurut Joseph Osdar, saat itu ada pertimbangan khusus yang membuat Bill Clinton mau tetap menunggu kedatangan Gus Dur. Yakni sosok Gus Dur yang dianggap sebagai simbol munculnya demokrasi di Asia Tenggara.
Terlebih setelah berakhirnya masa kepemimpinan Presiden ke-2 RI, Soeharto, yang berkuasa selama 32 tahun. Di sisi lain, publik saat itu masih terbelah dalam menerima kehadiran Presiden ke-3 RI, BJ Habibie.
"Publik masih mengingat bahwa sebelumnya beliau adalah anak buah Pak Harto dan diangkat sebagai presiden bukan karena dipilih, melainkan karena posisi sebagai wakil presiden yang menggantikan presiden," jelas Osdar.
"Sementara itu, Gus Dur menjadi presiden karena dipilih di MPR. Sehingga ada proses demokrasi, itulah reformasi sejati di mata masyarakat internasional," lanjutnya.
Selain itu, Gus Dur yang juga sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar, yakni Nahdatul Ulama juga bersikap toleran kepada umat agama lain.
Sehingga menurut Osdar, selain demokrasi, semangat pluralisme inilah yang membuat negara barat memberikan ruang kepada Gus Dur.
Rajin melawat
Masa pemerintahan Gus Dur yang berlangsung selama 1 tahun 9 bulan tak lepas dari kunjungan ke berbagai negara.
Joseph Osdar yang saat itu sehari-hari bertugas meliput di Istana Kepresidenan juga kerap ikut dalam lawatan-lawatan Gus Dur.
Dia menuturkan, sekitar dua pekan setelah dilantik sebagai Presiden RI, Gus Dur sudah keliling Asia. Jadwal kunjungannya pun terbilang cepat dan padat.
"Dalam dua hari bisa keliling enam negara Asia. Meski begitu, wartawan senang karena selalu ada konferensi pers, baik di pesawat maupun negara yang dikunjungi," ungkap Osdar.
Dia mengenang suasana konferensi pers saat lawatan ke luar negeri itu berlangsung santai. Bahkan kadang-kadang Gus Dur menyampaikan keterangan pers sambil berbincang dengan wartawan.
"Suasananya tidak riweh (ribet). Dekat seperti ngobrol-ngobrol biasa. Wartawan mendekat, Gus Dur bercerita," tutur Osdar.
Masa pemerintahan Gus Dur berlangsung sejak 21 Oktober 1999 hingga dimakzulkan MPR pada 23 Juli 2001.
Dalam periode yang cukup singkat tersebut, kegiatan kunjungan ke berbagai negara tak luput dari kritikan berbagai pihak.
Pihak yang kontra dengan kebijakan itu menilai, Gus Dur boros dalam menggunakan anggaran negara.
Tetapi, kepala biro protokoler Istana di era Gus Dur, Wahyu Muryadi mengungkapkan, atasannya itu punya pertimbangan tersendiri dalam melakukan lawatan ke luar negeri itu.
Ketika menjabat, di masa transisi dari Orde Baru ke Reformasi, Indonesia tengah mengalami ancaman disintegrasi.
Gejolak politik terjadi di mana-mana sehingga dukungan internasional, termasuk membuka peluang kerja sama dengan negara-negara lain, dianggap berarti.
"Misi Gus Dur waktu itu adalah kita harus memperkenalkan Indonesia ini di kancah dunia. Setiap forum internasional, ada G15 waktu itu, KTT Non-blok, KTT OKI, kalau namanya summit atau KTT pasti hadir dia.
Ada juga pertemuan pidato di general assembly PBB. Jadi di forum-forum internasional beliau berusaha tidak absen," ungkap Wahyu Muryadi, beberapa waktu lalu sebagaimana dilansir kompas.
Wahyu mengungkapkan, dalam forum-forum itu, Gus Dur coba memperkenalkan sikap Indonesia terhadap pelbagai isu global yang sedang hangat.
(seumber:kompas.com/hans)