Panja DPR Sepakati 8 Jenis Kekerasan Seksual Masuk RUU TPKS

Iklan Semua Halaman

Panja DPR Sepakati 8 Jenis Kekerasan Seksual Masuk RUU TPKS

05/04/2022


Jakarta (jurnalbesuki.com) - Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah menyepakati masuknya Pelcehan seksual berbasis elektronik sebagai salah satu jenis kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam RUU. Dengan demikian Panja sepakat kedelapan jenis kekerasan seksual sebagaimana termaktub dalam pasal 4 ayat 1.


Bunyi lengkap dari pasal 4 ayat 1 RUU TPKS itu adalah "Tindak pidana kekerasan seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; dan pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; dan pelecehan seksual berbasis elektronik".


Dengan disepakatinya jenis-jenis tindak pidana kekerasan seksual, sekaligus merampungkan pembahasan RUU TPKS. Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya mengatakan, usai pembahasan rampung, digelar rapat tim perumus dan tim sinkronisasi untuk memperbaiki redaksional dalam draf RUU. Badan Legislasi DPR menargetkan rapat pleno mengambil keputusan tingkat 1 bisa digelar pada Selasa, 5 April 2022.


"Hari ini kami akan masuk ke Timus jam 1. Jadi kalau bisa selesai sesuai dengan jadwal, besok kita sudah pengambilan keputusan tingkat 1," ujar Willy, Senin, 4 April 2022.


Willy menyebut, RUU TPKS sudah berupaya menampung segala masukan, meski tidak semua usulan organisasi masyarakat sipil bisa ditampung. Perkosaan misalnya, tidak diatur dalam RUU ini, karena telah ada di KUHP.


Namun dalam Pasal 4 ayat 2 RUU TPKS, ditetapkan sejumlah kekerasan lainnya juga masuk dalam kategori kekerasan seksual, yakni: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan antara anak; perbuatan cabul terhadap anak dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban; dan pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual.


Kemudian, pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; dan tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan tindak pidana kekerasan seksual. Terakhir adalah tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal ini dibuat sebagai bridging article yang bisa menjembatani dari segi hukum acara, sehingga sudah tidak ada alasan lagi bagi penegak hukum untuk memproses kasus ketika kurang bukti dan sebagainya. Dengan demikian, segala tindak pidana kekerasan seksual di luar undang-undang ini, berlaku hukum acara sebagainya diatur dalam UU TPKS.


Wakil Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI), Titi Anggraini, menilai substansi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah cukup progresif dan menunjukkan keberpihakan pada korban. MPI berharap, menjelang pengesahan, DPR bisa lebih komprehensif mendengar masukan dari kelompok masyarakat sipil terutama terkait dengan restitusi yang mestinya betul-betul bisa memberikan manfaat dan keadilan bagi para korban.


“Selain itu, janji untuk mensinkronisasi dengan pengaturan dalam RUU KUHP, khususnya menyangkut tindak pidana perkosaan, harus benar-benar dikawal agar tidak justru melemahkan substansi dan semangat yang dibawa oleh RUU TPKS ini,” ujar Titi lewat keterangan tertulis.(tempo.co/hans)